28 Mei, 2009



Pecun dan Bacang





Hari ini sebagian orang keturunan Tionghoa yang masih memelihara tradisi dan budaya nenek moyangnya, memperingati hari Pecun yang ditandai dengan BACANG.

Tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama apapun. Hanya tradisi.

Sebelum saya menulis lebih lanjut, kita simak dulu artikel pada Lampung Post tentang peringatan Pecun ini:


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Bacang, Membangkitkan Kepercayaan

YANG tepercaya justru tidak dipercaya akibat hasutan kepentingan golongan. Yang benar justru tergusur. Fenomena itu terjadi sejak zaman dinasti di Tiongkok--mungkin sampai sekarang pun masih terjadi.

Kalau di zaman Dinasti Ming, sastrawan Qu Yuan juga dikenal sebagai menteri yang tepercaya dan setia, menolak konspirasi menjatuhkan kerajaan Chu yang digagas rekan-rekannya. Namun, ia justru dibenci.

Niatannya membantu sang raja yang sakit, malah dituduh meracuni sang raja. Akibatnya, Qu Yuan frustasi dan memilih bunuh diri di Sungai Mi Lou.

Hal itu segera diketahui rakyat, kemudian mereka berbondong-bondong berusaha menyelamatkan orang tepercaya itu dengan kapal sambil melempari bacang. Hal itu kemudian menjadi tradisi yang bertujuan untuk mengenang kebenaran, kepercayaan, dan kesetiaan. Tradisi itu disebut Peh Cun atau Perayaan Bacang.

Kalau menengok tradisi atau sejarah, rasanya hikmah perayaan Bacang amat pas dengan kondisi di negeri tercinta saat ini. Tengoklah kondisi kita yang kian carut-marut dengan merebaknya korupsi dan kemungkaran di sana sini.

Justru yang orang yang berbuat baik, jujur dan dapat dipercaya, kerap menjadi sasaran tembak dan dibilang biang kerok karena jumlah mereka yang amat sedikit. Hal ini juga yang membuat antipati masyarakat akan hukum dan keadilan yang berlaku di negeri ini.

Namun, kalau mau melihat pada esensi nurani, tentunya kita semua berharap bahwa kebenaran adalah nomor satu yang harus dikedepankan. Dan momen Perayaan Bacang bisa menjadi contoh buat kita semua untuk mengedepankan kebenaran dan menjadi tepercaya. n SRI AGUSTINA/L-1

(http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2008060514440249)


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Banyak sih versi legenda Bacang, seperti juga legenda-legenda perayaan tradisional Tionghoa lainnya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada zaman Dinasti Zhou. Tapi inti legendanya sama: Qu Yuan bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo.


Salah satu legenda menyebutkan bahwa Qu Yuan bunuh diri karena ia kecewa terhadap sang raja yang tidak peduli dengan urusan negara, tetapi hanya dengan bermabuk-mabukan dan wanita-wanita penari atau penghubur saja. Kekecewaan dan rasa malunya terhadap apa yang dilakukan raja, maka ia berkeputusan untuk meninggalkan tugasnya sebagai menteri dengan bunuh diri di Sungai Miluo. Saat itu, mendengar kabar bunuh dirinya sang menteri, rakyat yang bersimpati kepadanya berduyun-duyun datang ke Sungai Miluo membawa bacang (yang memang makanan umum masyarakat) untuk dilemparkan ke dalam sungai agar perhatian mahluk-mahluk di dalamnya teralihkan sehingga mereka tidak memakan jenazah Qu Yuan, tetapi memakan bacang.

Peristiwa ini kemudian diperingati sebagai perayaan Pecun atau Duan Wu.

Ada lagi legenda yang menceritakan bahwa masyarakat saat itu percaya bahwa di dalam sungai hiduplah seekor naga besar. Agar dia hidup tenteram, dilemparkannyalah bacang untuk disantap sang naga.

Itu sebabnya pada peringatan Pecun di beberapa negara selalu diadakan Festival Perahu Naga yang biasanya jatuh pada hari ke lima, bulan ke lima kalender Tionghoa.

Apapun legenda yang kita dengar, entah memang peristiwa itu terjadi demikian atau tidak, BACANG selalu saja menjadi penganan yang cukup mengenyangkan dan juga tidak pernah kehilangan kepopulerannya.

Jaman saya kecil dulu, tidak ada dijual di pasar-pasar atau toko kue. Dua puluh tahun terakhir ini, kita mudah sekali mendapatkannya. Dan ingin menyantapnya, tidak perlu menunggu perayaan Pecun datang. Setiap hari selalu tersedia bacang yang segar.

Dalam kuliner Cina, bacang disebut Zongzi atau Zong saja, yang aslinya terbuat dari beras ketan yang diisi dengan daging (yang kemudian juga sayuran terutama bagi mereka yang vegetarian),
dibungkus dengan daun bambu lalu dimasak dengan cara dikukus atau direbus. Secara tradisional, pemasakan memakan waktu hingga berjam-jam. Dengan teknologi Pressure Cooker atau Panci Tekan, cukup 45 menit saja. Sungguh menghemat waktu dan bahan bakar, serta tenaga.

Bukan hanya beras ketan saja yang dipakai kemudian, tetapi juga beras biasa sehingga tidak begitu lengket. Yang banyak dijual di pasar dan menjadi selera umum adalah bacang beras biasa (disebut: Bacang Nasi). Umumnya memang daun bambu sebagai pembungkusnya, tetapi ada beberapa yang suka membungkusnya dengan daun pisang (untuk mendapatkan efek kehijauan pada nasinya dan aroma daun pisang yang dianggap lebh baik daripada aroma daun bambu)

Selain itu, daun pisang juga digunakan karena praktisnya, dibandingkan dengan daun bambu yang sebelum digunakan memerlukan penanganan lebih rumit: daun direbus dahulu, digosok satu sama lain untuk menghilangkan bulu-bulu yang ada pada helai daun. ditiriskan di bawah matahari, dan setelah kering baru bisa digunakan untuk membungkus.

Selain daun bambu dan daun pisang, juga banyak yang menggunakan daun teratai, daun andong, daun puspanyidra (tasbe), daun jagung, daun pohon jahe, dan juga daun pandan. Tentu saja untuk daun-daun berpelepah sempit, diperlukan beberapa lembar dan diatur agar lebarnya cukup untuk membungkus sebuah bacang. Setiap daun memberikan aroma tersendiri.

Tali pengikat.
Jaman dahulu ketika tali rapia atau tali plastik belum ditemukan, dipakai tali serat pisang atau tali agel. Jaman sekarang, tali plastik lebih mudah ditemukan dan harganya pun jauh lebih murah karena dibuat secara masinal, sedangkan tali serat pisang atau tali agel membutuhkan proses yang lama dan hasil produk sangat terbatas.


Isi Bacang bervariasi, tapi yang sangat umum adalah daging (apa saja). Cara memasak Isi bacang ini pun berbagai macam sesuai dengan selera dan adat setempat. Daging dengan sedikit daun bawang dan kecap manis (ini yang disebut Bacang Nonya di Malaysia dan Singapura). Ada pula yang dicampur jamur, lakchi, biji teratai, telur asin dsb. dengan kecap asin (Biasanya menjadi kesukaan orang-orang Tionghoa yang masih "totok"). Bahkan ada yang berisi pasta kacang merah manis dengan kacang (biasanya untuk kaum vegetarian).

Bentuk bacang juga bervariasi, ada yang bersudut 4 seperti umumnya yang kita lihat, hingga berbentuk silinder.

Di Jepang, bacang disebut Chimaki. Di Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam disebut bánh tro, sedangkan di dunia barat disebut Chinese Tamales atau Chinese Rice Dumplings.

Bacang yang seperti apa yang menjadi kegemaran Anda?





Tidak ada komentar: